Senin, 13 Desember 2010

Konsep Entrepreneurship Sektor Publik

Kajian tentang intrepreneurship pada sektor publik merupakan kajian akademik yang sudah lama di bicarakan oleh kalangan akademis. Akan tetapi kajian ini untuk domain indonesia dianggap baru. Karena kajian entrepreneurship untuk banyak kalangan umum dianggap kajian pada sektot privat.
Sebenarnya teori tentang kewirahausahaan di sektor publik belum lama ini diperkenalkan, baru berumur dua dasawarsa semenjak tahun 1992 oleh Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Dalam teori ini menjelaskan bahwa entrepreneurship bisa juga dilakukan pada sektor publik, tidak hanya pada sektor swasta (privat). Teori ini muncul akibat menurunnya kepercayaan masyarakat amerika pada saat itu terhadap pemerintah yang menjalankan pelayanan publik yang tidak efektif dan efisien. Olehnya itu, teori ini dihadirkan untuk menjawab segelintir permasalahan tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kewirausahaan di sektor publik berbeda dengan kewirausahaan di sektor swasta. Karena tujuan dari kedua sektor ini sangat bertolak belakang. Sektor privat berorientasi pada profit sedangkan sektor publik orientasi pada pelayanan prima. Sehingga kewirausahaan di sektor publik diperlukan adanya formulasi khusus yang tepat untuk mengatasi hal ini. Hal ini tidak berarti kita menyadur semua mekanisme yang ada pada sektor privat, akan tetapi lebih kepada semangat (spirit) untuk melayani. Menurut Dwiyanto, karena terdapat sejumlah perbedaan karakteristik antara birokrasi dengan sektor swasta (perusahaan), yang mempengaruhi perilaku keduanya.
Kata “Entrepreneur” ini diciptakan oleh ahli ekonomi berkebangsaan Perancis, J.B. Say sekitar tahun 1800. “Entrepreneur” menurut Say, memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, seorang entrepreneur menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas.
Berbicara mengenai falsafah Entrepreneurship yang sering di terjemahkan sebagai kewirausahaan, tidak bisa dilepaskan dari pandangan hidup manusia yang mempunyai keberanian dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya. dengan kata lain, Entrepreneurship tidak hanya berbicara pada batasan proses saja, namun juga bisa di kaitkan dengan fungsinya sebagai dasar, arah, dan tujuan dari proses yang akan di tempuh.
Peter Drucker tokoh teori manajemen juga menjelaskan bahwa hampir setiap orang bisa menjadi wirausahawan (entrepreneur), asalkan organisasinya disusun untuk mendorong kewirausahaan. Sebaliknya setiap wirausahawan bisa berubah menjadi birokrat, andaikan organisasinya disusun untuk mendorong perilaku birokratis. Drucker mengatakan “orang yang paling berjiwa wirausaha dan inovatif akan berprilaku seperti birokrat yang menggunakan waktu paling buruk atau politisi yang haus kekuasaan enam bulan setelah mengambil alih manajemen suatu lembaga pelayanan masyarakat terutama jika itu lembaga pemerintah”.
Diskusi tentang karakter birokrasi yang mempunyai jiwa entrepeneur ini secara konkret dipaparkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler yang pada dasarnya merupakan kritik terhadap birokrasi pemerintahan federal di Amerika Serikat yang tidak lagi efisien dalam mengelola pelayanan publik. Seperti diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler, saat ini, kita hidup dalam suatu era perubahan yang menakjubkan, dalam suatu pasar global yang sangat kompetitif, dalam suatu masyarakat informasi dimana orang bisa memanfaatkan informasi sama cepatnya dengan pemimpin mereka, hidup dalam suatu perekonomian yang mendasarkan pada pengetahuan di mana pekerja terdidik tidak mau dikekang oleh komando serta menuntut otonomi, dalam suatu zaman pasar reses dimana konsumen telah terbiasa dengan kualitas tinggi dan banyak pilihan. Singkatnya, perubahan-perubahan ini menuntut respon yang tepat dari para penyelenggara birokrasi publik.
Dengan demikian, munculnya konsep birokrasi entrepreneur tidak bisa dilepaskan dari perkembanganperkembangan global yang menyangkut dua dimensi pokok, yakni globalisasi ekonomi, dalam hal ini desakan ke arah integrasi ekonomi menuju pasar global, dan perubahan-perubahan yang mendasar sebagai katalisator globalisasi, yakni revolusi di bidang teknologi komunikasi dan semakin rendahnya biaya transportasi. Kedua faktor yang disebutkan belakangan ini telah mengubah secara fundamental
struktur ekonomi dan politik global.
Lebih lanjut, Osborne dan Gaebler menyatakan bahwa perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi sebagaimana dijelaskan di atas, menuntut lembaga yang sangat fleksibel dan mampu beradaptasi secara cepat. Perubahan lingkungan tersebut menuntut lembaga yang mampu memberikan barang dan jasa berkualitas tinggi yang memberikan hasil lebih banyak. Perubahan tersebut juga menuntut lembaga yang tanggap terhadap pelanggan dengan menawarkan berbagai pilihan (choices) jasa yang tidak dibakukan; yang banyak dituntun dengan persuasi dan dorongan ketimbang dengan perintah; yang memberikan pengertian tentang makna dan kontrol, bahkan kepemilikan kepada pekerja mereka. Akhirnya, perubahan tersebut menuntut lembaga yang memberikan wewenang kepada warga negara dibandingkan sekedar melayani mereka.
Akhirnya, konsep birokrasi entrepreneur merupakan kritik terhadap birokrasi Weberian yang sangat hierarkhis. Meskipun pada awalnya, birokrasi merupakan sistem kerja institusional yang diharapkan dapat menjadi alat untuk melayani kepentingan masyarakat dengan efektif dan efisien, dalam kenyataannya justru sebaliknya. Birokrasi cenderung lamban, hierarkhis, tidak efisien, dan hanya memboroskan anggaran pemerintah.
Begitupun di negara-negara berkembang seperti Indonesia juga mengalami hal yang sama. Begitu rendahnya kinerja birokrasi di indonesia disebabkan birokrasi di indonesia cenderung bersifat patrimonialistik, birokrasi yang tambun, tidak efektif dan tidak efisien, karakter aparatur yang bersifat dilayani ketimbang melayani sehingga birokratnya cenderung otoritatif. Belum lagi kita melihat pada budaya birokrasi yang paternalistik, sistem pengawasan yang kurang, sistem pemberian reward dan punishment yang tidak berjalan dan yang lebih penting lagi adalah skill yang dimiliki oleh para pegawai masih rendah adalah sebagaian dari kelemahan yang dimiliki oleh birokrasi di Indonesia. Padahal perkembangan kebutuhan masyarakat semakin banyak seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang harus di sikapi oleh birokrasi.
Oleh karena itu, Osborne dan Gaebler merumuskan gagasan mengenai pentingnya birokrasi yang mempunyai jiwa entrerpreneur, yakni : (1). Pemerintahan Katalis: Mengarahkan Ketimbang Mengayuh; (2). Pemerintahan Milik Masyarakat: Memberi Wewenang Ketimbang Melayani; (3). Pemerintahan yang Kompetitif: Menyuntikkan Persaingan ke dalam Pemberian Pelayanan; (4). Pemerintahan yang digerakkan Misi: Mengubah Organisasi yang digerakkan oleh Peraturan; (5). Pemerintahan yang berorientasi Hasil: Membiayai Hasil Dibandingkan dengan Masukan; (6). Pemerintahan berorientasi Pelanggan: Memenuhi Kebutuhan Pelanggan bukan Birokrasi; (7).Pemerintahan Wirausaha: Menghasilkan Dibandingkan dengan Membelanjakan; (8). Pemerintahan Antisipatif: Mencegah daripada Mengobati; (9). Pemerintahan Desentralisasi; (10).Pemerintahan berorientasi
Sebagai penutup, birokrasi di Indonesia perlu melakukan penyesuaian struktural dengan mengadakan perubahan pada level manajemen, sikap, budaya, dan praktek-praktek yang birokratis menjadi Entrepreneurship. Dimana wacana intrepreneulship diperuntukkan membentuk profil dan manajemen birokrasi yang mampu melayani kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks dan beragam secara baik.


Sumber Bacaan :
Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003. Mewirausahakan Birokrasi : Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik (terjemahan). Penerbit PPM. Jakarta.

Suharyanto, Hadriyanus. 2005. Administrasi Publik : Entrepreneurship, Kemitraan, dan Reinventing Government. Media Wacana. Yogyakarta.

Winarno, Budi 2004. Artikel : Implementasi Konsep “Reinventing Government Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”.

2 komentar: